Melihat masa kecil anak-anak di kota
besar seperti Bandung. Saya berpikir, mungkin merenung lebih tepatnya. Di bawah
pohon besar sambil berteduh dari hujan. Bagaimana, atau menjadi seperti apa aku
saat ini jika memiliki masa kecil seperti mereka.
Tiba-tiba saya bersyukur. Bersyukur karena tinggal di desa saat masa kecil. Dari desa kecil itu, yang saat ini, bisa dihitung jari yang melanjutkan ke perguruan tinggi. Dan dari yang dihitung jari itu, hingga saat ini hanya saya dan satu teman baik saya yang merantau ke kampus yang dianggap diatas rata-rata di negeri ini. Saya dengan kampus gajah duduk dan dia dengan kampus yang terkenal ‘jaket kuning’ dengan makaranya.
Lompatan-lompatan hidup yang benar tidak terduga. Di tengah situasi desa yang minim pada masa kecil. Akses informasi yang terbatas. Akses telekomunikasi yang sulit. Akses jalan desa yang dulu banyak rusaknya. Saya merasa bahwa beruntung karena 'terisolasi’.
Saya tidak pernah menyangka ketika kecil dulu, bahwa saya akan hidup di Bandung. Menjadi bagian dari keluarga besar kampus ini. Memiliki lingkungan seperti Salman dan lain-lain. Dunia masa kecilku hanya seputar desa - sawah - sungai - majalah bobo - televisi akhir pekan .
Mungkin, kelak ketika saya memiliki anak-anak. Melihat masa kecil anak-anak di kota besar. Sekuat apapun perlindungan orang tua, berperang melawan lingkungan adalah hal yang cukup sulit. Bandung mungkin bukan menjadi pilihan rumah tinggal untuk anak-anak.
Ingin sekali mengakrabkan anak-anak kepada alam, mengajaknya naik gunung meski baru 5 tahun, mengajaknya jalan-jalan ke berbagai tempat meski dalam gendongan. Mengakrabkan pada kemisikinan dan kekayaan dengan seimbang. Memperlihatkan keindahan dan kerusakan dalam dengan seimbangan. Mengakrabkan pada tanggungjawab. Pada buku-buku dan kertas kosong.
Tempat superti itu, selalu ada. Entah dimana. Dan mungkin ketika itu ada, di sanalah rumah keluarga kecilku akan dibangun. Masalah penghidupan, uang maksudku. Bisa dicari dimanapun, toh bekerja sekarang tinggal terkoneksi internet. Dimanapun kita bisa bekerja tanpa perlu takut kehilangan rejeki. Rejeki sudah ada yang mengatur dan tinggal bagaimana manusia mengambil jatahnya.
Keluarga kecil ini akan tinggal di desa yang kecil. Berada di persawahan atau perbukitan. Setidaknya, menyelamatkan masa kecil anak-anak adalah bagian dari visi. Tidak ada salahnya mengatur strategi dan membaca situasi.
Saya orang desa, ya mungkin akan kembali ke desa. Memperbaiki lingkungan terkecil sendiri. Hidup ini tidak hanya untuk diri sendiri bukan? Sekiranya dulu saya menghabiskan masa kecil di kota besar. Kira-kira menjadi seperti apa saya sekarang?
Anak-anak yang lebih akrab dengan tablet, dengan Starbucks dan J.Co, anak-anak yang lebih senang makan di Mc.D daripada di rumah. Lebih sering minum soda daripada air putih. Sedikit-sedikit minta uang untuk jajan. Kelas satu SD sudah minta Smartphone Android.
Ah, kira-kira bagaimana besarnya anak-anak ini nantinya?
Tiba-tiba saya bersyukur. Bersyukur karena tinggal di desa saat masa kecil. Dari desa kecil itu, yang saat ini, bisa dihitung jari yang melanjutkan ke perguruan tinggi. Dan dari yang dihitung jari itu, hingga saat ini hanya saya dan satu teman baik saya yang merantau ke kampus yang dianggap diatas rata-rata di negeri ini. Saya dengan kampus gajah duduk dan dia dengan kampus yang terkenal ‘jaket kuning’ dengan makaranya.
Lompatan-lompatan hidup yang benar tidak terduga. Di tengah situasi desa yang minim pada masa kecil. Akses informasi yang terbatas. Akses telekomunikasi yang sulit. Akses jalan desa yang dulu banyak rusaknya. Saya merasa bahwa beruntung karena 'terisolasi’.
Saya tidak pernah menyangka ketika kecil dulu, bahwa saya akan hidup di Bandung. Menjadi bagian dari keluarga besar kampus ini. Memiliki lingkungan seperti Salman dan lain-lain. Dunia masa kecilku hanya seputar desa - sawah - sungai - majalah bobo - televisi akhir pekan .
Mungkin, kelak ketika saya memiliki anak-anak. Melihat masa kecil anak-anak di kota besar. Sekuat apapun perlindungan orang tua, berperang melawan lingkungan adalah hal yang cukup sulit. Bandung mungkin bukan menjadi pilihan rumah tinggal untuk anak-anak.
Ingin sekali mengakrabkan anak-anak kepada alam, mengajaknya naik gunung meski baru 5 tahun, mengajaknya jalan-jalan ke berbagai tempat meski dalam gendongan. Mengakrabkan pada kemisikinan dan kekayaan dengan seimbang. Memperlihatkan keindahan dan kerusakan dalam dengan seimbangan. Mengakrabkan pada tanggungjawab. Pada buku-buku dan kertas kosong.
Tempat superti itu, selalu ada. Entah dimana. Dan mungkin ketika itu ada, di sanalah rumah keluarga kecilku akan dibangun. Masalah penghidupan, uang maksudku. Bisa dicari dimanapun, toh bekerja sekarang tinggal terkoneksi internet. Dimanapun kita bisa bekerja tanpa perlu takut kehilangan rejeki. Rejeki sudah ada yang mengatur dan tinggal bagaimana manusia mengambil jatahnya.
Keluarga kecil ini akan tinggal di desa yang kecil. Berada di persawahan atau perbukitan. Setidaknya, menyelamatkan masa kecil anak-anak adalah bagian dari visi. Tidak ada salahnya mengatur strategi dan membaca situasi.
Saya orang desa, ya mungkin akan kembali ke desa. Memperbaiki lingkungan terkecil sendiri. Hidup ini tidak hanya untuk diri sendiri bukan? Sekiranya dulu saya menghabiskan masa kecil di kota besar. Kira-kira menjadi seperti apa saya sekarang?
Anak-anak yang lebih akrab dengan tablet, dengan Starbucks dan J.Co, anak-anak yang lebih senang makan di Mc.D daripada di rumah. Lebih sering minum soda daripada air putih. Sedikit-sedikit minta uang untuk jajan. Kelas satu SD sudah minta Smartphone Android.
Ah, kira-kira bagaimana besarnya anak-anak ini nantinya?
Bandung, 13 Januari 2013
Written by Kurniawan Gunadi

No comments:
Post a Comment