Jam lima pagi waktu Indonesia bagian barat. Alaram handphone mencoba membangungkan dari tidur semalam. Aku terjaga dan sadar ini masih dalam suasana yang sama. Libur masih tersisa beberapa hari lagi. Kukumpulkan jiwa yang masih terbawa letih semalam dan beranjak tuk tunaikan kewajiban shalat subuh. Aku bergelut bersama dinginnya suhu Asrama kampus yang terletak di Kecamatan Dayeuh Kolot ini. Brrr...mungkinkah Bandung akan turun salju?
Kembali ke kamar, kuhubungkan kabel data untuk
mencharger hp. Beberapa jam berlalu, terlihat
sesuatu yang aneh. Layaknya di film-film horror Indonesia kebanyakan,
bulu kudukku mulai merinding. Kursi bergoyang sendiri, lampu nyala-mati
berulang kali. Air minum di gelas berubah menjadi darah. Sesosok bayangan
berkelebat di sampingku. Rasa takut mulai menyerang. Aku yang duduk di depan
layar monitor, merasa seseorang sedang berdiri di belakangku. Tubuh besarnya seakan menontonku yang tengah asyik mengutak-atik laptop. Segara kuberanikan
diri tuk menoleh ke belakang secara perlahan, dan tiba-tiba …Ah hentikan
imajinasinya. Nampaknya aku masih dalam pengaruh film yang ku tonton semalam.
Sinar fajar mulai menembus
kaca jendela kamar. Meski tak terdengar nyanyian kokok ayam jantan sebagai penanda,
embun di luar sudah cukup menjelaskan. Cerahnya suasana pagi asrama, sejuk dipenuhi udara
yang belum terkontaminasi polutan. Kutarik nafas dalam-dalam agar lebih rileks.
Memang ada yang aneh sedari tadi. Rupanya baterai telepon genggamku tak terisi. Sepertinya pengisi daya sedang bermasalah.
Kucabut kabel USB dari adapter. Sudah
lama tertananam, semoga tak apa kucabut dengan paksa. Barangkali kalau di
colok ke laptop daya akan masuk mengisi hp.
Setelah dicolok, sialnya malah komputer jinjingku yang tiba-tiba mati. Kunyalakan kembali, shit.. sistem oprasinya jadi error. Nampaknya harus di-install ulang. Tak ada lagi pilihan lain. Huh.. Memang
kabel USB nya yang bermasalah. Baru ingat, kemarin kabel ini dipinjam Adit tuk
dipakai di power bank. Mungkin saja kabelnya tidak kompatibel, jadinya rusak
sudah perangkat ini. Andai kata ada chemistry
mungkin kau tak membuatku seperti
ini kawan. Sang kabel hanya terdiam seribu bahasa.
Kutanyakan salah seorang teman di
gang BBC. Teman sekampung halaman denganku yang bernama Hidayat. Siapa tahu saja dia
bisa membantuku mereparasi laptop ini. Untungnya di respon positif. Sudah kutebak.
“Bawa saja kerumah bro, biar di
install ulang”, pesan hidayat lewat akun BBM-nya. Tenangkan pikiran sejenak, ku
pinjam sepeda teman sekamar dan menuju kontrakannya di BBC.Kontrakan anak-anak
BBC ini memang cukup nyaman. Semoga sajalah hunian baru setelah keluar asrama,
tak kalah nyaman dengan tempat ini. Gumamku dalam hati penuh harap.
Dua jam berlalu, penginstalan
telah selesai. Si ASUS sudah kembali normal. Andai dapat bicara, mungkin dia akan berkata; terima kasih Bos!. Koneksi internet kontrakan yang mati
mengharuskan kami tuk mencari hiburan lain tuk mengisi kekosongan. Mataku
tertuju pada sebuah gitar nylon string yang tersandar lemas di samping almari. Nampaknya
dia belum makan. Malangnya nasibmu Nak diterlantarkan seperti ini. Kuraih
perlahan dan mulai memainkannya.
Kumemulai dengan music Mario Bros
ala Sung Ha Jung. Kemudian disusul lagu andalan milik Mr. Big, To be with You. Rupanya
skill itu masih ada, meski beberapa nada terkadang fals. Setidaknya rasa rindu
dengan sahabat kamar yang satu ini terobati juga. Sudah cukup lama tak
memainkan instrumen ini. Manggung apalagi. Seingatku terakhir kali sewaktu
acara perpisahan sekolah.
Ah.. mulai terasa sakit di ujung
jari-jari tangan ini. Tampaknya jari-jari ini tengah beradaptasi beradu dengan
dawai-dawai gitar. Dengan sedikit bersandar, tiba-tiba ingatanku flashback
ke masa lalu.
Kala itu SMP kelas dua, pertama
kali aku belajar gitar. Seminggu berlatih otodidak lewat buku kord gitar yang
dijual dipasar, akhirnya aku sudah bisa menguasai beberapa kord dasar. Aku mampu memainkan
beberapa lagu cupu favorit di playlist acara tv. Sebut saja Armada – Buka Hatimu.
Tiap hari dipenuhi belajar dan belajar, gitar dan gitar. Modalku hanya dengan meminjam
gitar milik teman ataupun tetangga. Walaupun ujung jari-jari tangan kiri kian
membengkak dan yang kanan kuku-kukunya mulai terkikis, di kepalaku hanya
terlintas bisa mahir memainkan alat music petik ini. Benar-benar masa labil yang
indah.
Beberapa bulan berlalu, kumerasa
sudah lumayan mumpuni. Aku sudah bisa menyetem gitar sendiri, sudah bisa
mencari melody, ataupun kord gitar sebuah lagu tanpa buku lagi. Kuberanikan tuk
meminta dibelikan gitar kepada orang tua. Akhirnya harapanku dipenuhi. Tapi, aku merasa sedikit tak enak kepada beliau. Aku hanya meminta tanpa usaha. Akhirnya uang
tabunganku yang berasal dari hasil bisnis fotocopy dan printer milik orang tua
kukeluarkan untuk menambah-nambah suntikan dana yang ada. Tepat libur semester
ganjil Kelas tiga SMP akhirnya kudapatkan juga gitar pertamaku. Sebuah gitar
akustik hitam merek Yamaha FG350. Sederhana , namun suaranya cukup lumayan jika
dimainkan.
Bahkan saat SMA di
Bulukumba, gitar kesayangan ini tak luput dari genggamanku. Kubawa pula dirinya
ke tanah kelahiran. Sesekali kubawa kesekolah dan memainkannya bersama teman
kelas sewaktu jam istirahat tiba. Bahkan jika bel pulang sekolah telah berbunyi,
masih sempat-sempatnya kami para remaja tak tahu diri tinggal sejenak hanya tuk
bermain bersama. Berharap beberapa sosok bidadari turun dari plafon menemani kami berdendang. Khayalan tingkat tinggi..!
Hingga akhirnya tragedi itu terjadi di saat aku sudah hampir naik ke kelas XI. Gitar hitam yang biasanya kubiarkan saja bermalam di
sekolah dan tak kenapa-kenapa, tiba-tiba hilang di
hari itu. Sedih dan kecewa mengetahuinya. Berusaha mencarinya ke
seluruh kelas namun tak jua ketemu. Menanyakan ke petugas kebersihan sekolah,
senior-senior namun tetap nihil. Dua minggu berlalu kuikhlaskan saja apa yang
telah terjadi. Barangkali gitar itu akan balik sendiri pada waktunya. Khayalku.
Sekali waktu kulihat dari jauh
seorang kakak kelas yang sedang asyik memainkan gitar. Warnanya hitam, Yamaha,
persis punyaku. Kuyakin gitar itu adalah milikku yang hilang. Ku coba mendekat
pura-pura lewat di hadapannya. Memang kelihatannya sangat mirip. Masih terdapat
bekas stiker tulisan YAMAHA di dekat Bridge-nya
meski terlihat telah ditanggalkan. Kutanyakan padanya, rupanya dia mengelak.
“Bukan, gitar ini milik kakakku
yang sudah lama dibeli”, Jawab kakak kelas yang tak ku tahu namanya. Nadanya
bicaranya agak kesal. Sepertinya otakku masih memikirakan gitar ini. Kutakut
dia marah dan emosi. Ku tinggalkan saja dan berharap bahwa itu benar-benar
bukan gitar milikku yang sudah di preteli olehnya. Ku coba Move on dari gitar yang
hilang.
Usia remaja sudah semakin
matang. Kusadar, lewat bermain musiklah
yang banyak mengantarkanku menjuarai beberapa kompetisi akustik di tingkat
sekolah, Kabupaten dan Provinsi. Kusempatkan pula membentuk grup band dengan
teman sekolah dan mengikuti beberapa festifal dan bazar music meski tak
seberuntung kalau di bidang akustik. Aku senang bisa sampai di titik ini. Meski
tanpa gitar pertama yang menemani. Walau dirinya yang hilang dan menyisahkan
misteri, aku bersyukur pernah memilikimu kawan
.
Kembali ke kamar Hidayat.
.
Kembali ke kamar Hidayat.
Di ruangan sekitar 4x3 meter ini, aku senyum-senyum sendiri mengingat semua kenangan itu.Dan gitar nylon tampak mulai bosan
bersamaku. Jari-jariku juga mulai perih menekan
dawai-dawainya yang tegang. Kuhentikan permainan sejenak dan mencari
bahasan baru.
“ Yat, bagaimana kalau kita
keluar cari senar gitar. Soalnya tali ke-4,5, dan 6 gitar ini sudah mati” ucapku mengajak.
“Sialan, gue di bilang mati. Awas
yah kalau lu mainin gue lagi!” Jawab gitar geram.
“wah kamu bisa bicara toh?” tanyaku heran. Tak ada jawaban, rupanya hanya ilusi.
“Ayo, sekalian cari makanan di
luar!"sahut Hidayat tanda setuju.
Pukul 5 sore kami keluar rumah
menuju jalan Bojong Soang dan sekitaran Buah Batu mencari senar gitar pengganti. Tanpa helm dan perlengkapan surat
kendaraan bermotor. Ditambah lagi hujan rintik-rintik yang turut menghiasi
Dayeuh Kolot sore itu. Ah.. bukan Mahasiswa namanya kalau takut hanya hal beginian.
Sekali layar terkembang, pantang tuk pulang menepi. Kami berdua mengabaikan
saja kemungkinan terburuk yang dapat terjadi. Tancap gas meninggalkan area gang BBC.
Tiga Puluh menit berlalu,
akhirnya kami menemukan toko yang menjual senar gitar yang dicari. Meski harus
bergelut dengan polisi lalu lintas.Memang prajurit berompi hijau muda ini kerap kali menjadi momok buat
para pengendara seperti kami. Apalagi saat itu kami tanpa perlengakapan satu pun.
Dengan perlengkapan yang sudah pas saja tetap ada rasa deg-degan tiap kali
berpapasan dengan si hijau ini, apalagi yang Tanpa helm dan surat-surat. Jatung
dibuat berdetak tak karuan di hadapannya, mungkinkah itu cinta?
Perjalanan pulang ke kontrakan
seakan terdapat rintangan.
“Bagaimana bro terobos saja?”
Tanya Hidayat sedikit risau.
“Nda tau bro, saya juga
takut-takut ini. Nanti kena tilang” jawabku.
“Jadi bagaiamana?”
“Terobos saja deh, daripada
kemalaman”
“iya lewat saja, tidak apa-apa
kok” seru penjaga toko meyakinkan kami.
Dengan segenap kekuatan yang ada
kami beranikan diri tuk melewati pak polisi. Kami juga mulai yakin sebab ada
berapa pengendara yang lewat tanpa helm tapi aman-aman saja. Namun tetap saja
antara yakin dan tak yakin. Yah,, ternyata prasangka itu salah. Kami selamat.
Rupanya POLANTAS hari itu sedang tidak razia. Mereka hanya sedang bertugas
mengatur lalu lintas yang cukup padat di pertigaan Jalan Bojong Soang. Perasaan
langsung menjadi plong bag habis
hijab Kabul. Haha.
Bersambung....
No comments:
Post a Comment