Wednesday, 25 March 2015

Liburan Kali Ini ( Part 2 )


Jam lima pagi waktu Indonesia bagian barat. Alaram handphone mencoba membangungkan dari tidur semalam. Aku terjaga dan sadar ini masih  dalam suasana yang sama. Libur masih tersisa beberapa hari lagi. Kukumpulkan jiwa yang masih terbawa letih semalam dan beranjak tuk tunaikan kewajiban shalat subuh. Aku bergelut bersama dinginnya suhu Asrama kampus yang terletak di Kecamatan Dayeuh Kolot ini. Brrr...mungkinkah Bandung akan turun salju?
Aku berhayal lagi.


Kembali ke kamar, kuhubungkan kabel data untuk mencharger hp. Beberapa jam berlalu, terlihat  sesuatu yang aneh. Layaknya di film-film horror Indonesia kebanyakan, bulu kudukku mulai merinding. Kursi bergoyang sendiri, lampu nyala-mati berulang kali. Air minum di gelas berubah menjadi darah. Sesosok bayangan berkelebat di sampingku. Rasa takut mulai menyerang. Aku yang duduk di depan layar monitor, merasa seseorang sedang berdiri di belakangku. Tubuh besarnya seakan menontonku yang tengah asyik mengutak-atik laptop. Segara kuberanikan diri tuk menoleh ke belakang secara perlahan, dan tiba-tiba …Ah hentikan imajinasinya. Nampaknya aku masih dalam pengaruh film yang ku tonton semalam. 

Sinar fajar mulai menembus kaca jendela kamar. Meski tak terdengar nyanyian kokok ayam jantan sebagai penanda, embun di luar sudah cukup menjelaskan. Cerahnya suasana pagi asrama, sejuk dipenuhi udara yang belum terkontaminasi polutan. Kutarik nafas dalam-dalam agar lebih rileks.

Memang ada yang aneh sedari tadi. Rupanya baterai telepon genggamku tak terisi. Sepertinya pengisi daya sedang bermasalah. Kucabut kabel USB dari  adapter. Sudah lama tertananam, semoga tak apa kucabut dengan paksa. Barangkali kalau di colok ke laptop daya akan masuk mengisi hp.

Setelah dicolok, sialnya malah komputer jinjingku yang tiba-tiba mati. Kunyalakan kembali, shit.. sistem oprasinya jadi error. Nampaknya harus di-install ulang. Tak ada lagi pilihan lain. Huh.. Memang kabel USB nya yang bermasalah. Baru ingat, kemarin kabel ini dipinjam Adit tuk dipakai di power bank. Mungkin saja kabelnya tidak kompatibel, jadinya rusak sudah perangkat ini. Andai kata ada chemistry  mungkin kau tak membuatku seperti ini kawan. Sang kabel hanya terdiam seribu bahasa.

Kutanyakan salah seorang teman di gang BBC. Teman sekampung halaman denganku yang bernama Hidayat. Siapa tahu saja dia bisa membantuku mereparasi laptop ini. Untungnya di respon positif. Sudah kutebak.
“Bawa saja kerumah bro, biar di install ulang”, pesan hidayat lewat akun BBM-nya. Tenangkan pikiran sejenak, ku pinjam sepeda teman sekamar dan menuju kontrakannya di BBC.Kontrakan anak-anak BBC ini memang cukup nyaman. Semoga sajalah hunian baru setelah keluar asrama, tak kalah nyaman dengan tempat ini. Gumamku dalam hati penuh harap.

Dua jam berlalu, penginstalan telah selesai. Si ASUS sudah kembali normal. Andai dapat bicara, mungkin dia akan berkata; terima kasih Bos!. Koneksi internet kontrakan yang mati mengharuskan kami tuk mencari hiburan lain tuk mengisi kekosongan. Mataku tertuju pada sebuah gitar nylon string yang tersandar lemas di samping almari. Nampaknya dia belum makan. Malangnya nasibmu Nak diterlantarkan seperti ini. Kuraih perlahan dan mulai memainkannya.

Kumemulai dengan music Mario Bros ala Sung Ha Jung. Kemudian disusul lagu andalan milik Mr. Big, To be with You. Rupanya skill itu masih ada, meski beberapa nada terkadang fals. Setidaknya rasa rindu dengan sahabat kamar yang satu ini terobati juga. Sudah cukup lama tak memainkan instrumen ini. Manggung apalagi. Seingatku terakhir kali sewaktu acara perpisahan sekolah. 

Ah.. mulai terasa sakit di ujung jari-jari tangan ini. Tampaknya jari-jari ini tengah beradaptasi beradu dengan dawai-dawai gitar. Dengan sedikit bersandar, tiba-tiba ingatanku flashback ke masa lalu.

Kala itu SMP kelas dua, pertama kali aku belajar gitar. Seminggu berlatih otodidak lewat buku kord gitar yang dijual dipasar, akhirnya aku sudah bisa menguasai beberapa kord dasar. Aku mampu memainkan beberapa lagu cupu favorit di playlist acara tv. Sebut saja Armada – Buka Hatimu. Tiap hari dipenuhi belajar dan belajar, gitar dan gitar. Modalku hanya dengan meminjam gitar milik teman ataupun tetangga. Walaupun ujung jari-jari tangan kiri kian membengkak dan yang kanan kuku-kukunya mulai terkikis, di kepalaku hanya terlintas bisa mahir memainkan alat music petik ini. Benar-benar masa labil yang indah.

Beberapa bulan berlalu, kumerasa sudah lumayan mumpuni. Aku sudah bisa menyetem gitar sendiri, sudah bisa mencari melody, ataupun kord gitar sebuah lagu tanpa buku lagi. Kuberanikan tuk meminta dibelikan gitar kepada orang tua. Akhirnya harapanku dipenuhi. Tapi, aku merasa sedikit tak enak kepada beliau. Aku hanya meminta tanpa usaha. Akhirnya uang tabunganku yang berasal dari hasil bisnis fotocopy dan printer milik orang tua kukeluarkan untuk menambah-nambah suntikan dana yang ada. Tepat libur semester ganjil Kelas tiga SMP akhirnya kudapatkan juga gitar pertamaku. Sebuah gitar akustik hitam merek Yamaha FG350. Sederhana , namun suaranya cukup lumayan jika dimainkan. 

Bahkan saat SMA di Bulukumba, gitar kesayangan ini tak luput dari genggamanku. Kubawa pula dirinya ke tanah kelahiran. Sesekali kubawa kesekolah dan memainkannya bersama teman kelas sewaktu jam istirahat tiba. Bahkan jika bel pulang sekolah telah berbunyi, masih sempat-sempatnya kami para remaja tak tahu diri tinggal sejenak hanya tuk bermain bersama. Berharap beberapa sosok bidadari turun dari plafon menemani kami berdendang. Khayalan tingkat tinggi..!

Hingga akhirnya tragedi itu terjadi di saat aku sudah hampir naik ke kelas XI. Gitar hitam yang biasanya kubiarkan saja bermalam di sekolah dan tak kenapa-kenapa, tiba-tiba hilang  di hari itu. Sedih dan kecewa mengetahuinya. Berusaha mencarinya ke seluruh kelas namun tak jua ketemu. Menanyakan ke petugas kebersihan sekolah, senior-senior namun tetap nihil. Dua minggu berlalu kuikhlaskan saja apa yang telah terjadi. Barangkali gitar itu akan balik sendiri pada waktunya. Khayalku.

Sekali waktu kulihat dari jauh seorang kakak kelas yang sedang asyik memainkan gitar. Warnanya hitam, Yamaha, persis punyaku. Kuyakin gitar itu adalah milikku yang hilang. Ku coba mendekat pura-pura lewat di hadapannya. Memang kelihatannya sangat mirip. Masih terdapat bekas stiker tulisan YAMAHA di dekat Bridge-nya meski terlihat telah ditanggalkan. Kutanyakan padanya, rupanya dia mengelak. 

“Bukan, gitar ini milik kakakku yang sudah lama dibeli”, Jawab kakak kelas yang tak ku tahu namanya. Nadanya bicaranya agak kesal. Sepertinya otakku masih memikirakan gitar ini. Kutakut dia marah dan emosi. Ku tinggalkan saja dan berharap bahwa itu benar-benar bukan gitar milikku yang sudah di preteli olehnya. Ku coba Move on dari gitar yang hilang.

Usia remaja sudah semakin matang.  Kusadar, lewat bermain musiklah yang banyak mengantarkanku menjuarai beberapa kompetisi akustik di tingkat sekolah, Kabupaten dan Provinsi. Kusempatkan pula membentuk grup band dengan teman sekolah dan mengikuti beberapa festifal dan bazar music meski tak seberuntung kalau di bidang akustik. Aku senang bisa sampai di titik ini. Meski tanpa gitar pertama yang menemani. Walau dirinya yang hilang dan menyisahkan misteri, aku bersyukur pernah memilikimu kawan
.
Kembali ke kamar Hidayat.
Di ruangan sekitar 4x3 meter ini, aku senyum-senyum sendiri mengingat semua kenangan itu.Dan gitar nylon tampak mulai bosan bersamaku. Jari-jariku juga mulai perih menekan  dawai-dawainya yang tegang. Kuhentikan permainan sejenak dan mencari bahasan baru. 

“ Yat, bagaimana kalau kita keluar cari senar gitar. Soalnya tali ke-4,5, dan 6 gitar ini sudah mati” ucapku mengajak.
“Sialan, gue di bilang mati. Awas yah kalau lu mainin gue lagi!” Jawab gitar geram.
“wah kamu bisa bicara toh?” tanyaku heran. Tak ada jawaban, rupanya hanya ilusi.
“Ayo, sekalian cari makanan di luar!"sahut Hidayat tanda setuju.
Pukul 5 sore kami keluar rumah menuju jalan Bojong Soang dan sekitaran Buah Batu mencari senar gitar  pengganti. Tanpa helm dan perlengkapan surat kendaraan bermotor. Ditambah lagi hujan rintik-rintik yang turut menghiasi Dayeuh Kolot sore itu. Ah.. bukan Mahasiswa namanya kalau takut hanya hal beginian. Sekali layar terkembang, pantang tuk pulang menepi. Kami berdua mengabaikan saja kemungkinan terburuk yang dapat terjadi. Tancap gas meninggalkan area gang BBC.

Tiga Puluh menit berlalu, akhirnya kami menemukan toko yang menjual senar gitar yang dicari. Meski harus bergelut dengan polisi lalu lintas.Memang prajurit berompi hijau muda ini kerap kali menjadi momok buat para pengendara seperti kami. Apalagi saat itu kami tanpa perlengakapan satu pun. Dengan perlengkapan yang sudah pas saja tetap ada rasa deg-degan tiap kali berpapasan dengan si hijau ini, apalagi yang Tanpa helm dan surat-surat. Jatung dibuat berdetak tak karuan di hadapannya, mungkinkah itu cinta?
Perjalanan pulang ke kontrakan seakan terdapat rintangan.
“Bagaimana bro terobos saja?” Tanya Hidayat sedikit risau.
“Nda tau bro, saya juga takut-takut ini. Nanti kena tilang” jawabku.
“Jadi bagaiamana?”
“Terobos saja deh, daripada kemalaman”
“iya lewat saja, tidak apa-apa kok” seru penjaga toko meyakinkan kami.

Dengan segenap kekuatan yang ada kami beranikan diri tuk melewati pak polisi. Kami juga mulai yakin sebab ada berapa pengendara yang lewat tanpa helm tapi aman-aman saja. Namun tetap saja antara yakin dan tak yakin. Yah,, ternyata prasangka itu salah. Kami selamat. Rupanya POLANTAS hari itu sedang tidak razia. Mereka hanya sedang bertugas mengatur lalu lintas yang cukup padat di pertigaan Jalan Bojong Soang. Perasaan langsung menjadi plong bag habis hijab Kabul. Haha.
 

Bersambung....






No comments:

Post a Comment