Jika belum membaca episode sebelumnya silahkan klik Part 1 dan Part 2
Jumat malam selepas isya aku tiba di rumah. Bukan rumah mertua, tepatnya ini rumah kecilku di kampung halaman. Empat jam perjalanan darat dari kota Makassar – Bulukumba menjadi santapan wajib buat bokongku di atas mobil. Ini merupakan kepulanganku yang kedua kalinya selama di perantauan. Tak jauh beda dengan sebelumnya, nenek dan adik laki-lakiku tetap jadi sosok yang menyambut di depan pintu. Rumah sederhana dan kamar tidur mungil punya makna tersendiri buatku tiga tahun belakangan ini.Selepas mandi sebentar, Kubersihkan ranjang yang bedebu dan mulai memainkan gitar merahku.
Jumat malam selepas isya aku tiba di rumah. Bukan rumah mertua, tepatnya ini rumah kecilku di kampung halaman. Empat jam perjalanan darat dari kota Makassar – Bulukumba menjadi santapan wajib buat bokongku di atas mobil. Ini merupakan kepulanganku yang kedua kalinya selama di perantauan. Tak jauh beda dengan sebelumnya, nenek dan adik laki-lakiku tetap jadi sosok yang menyambut di depan pintu. Rumah sederhana dan kamar tidur mungil punya makna tersendiri buatku tiga tahun belakangan ini.Selepas mandi sebentar, Kubersihkan ranjang yang bedebu dan mulai memainkan gitar merahku.
Setibaku di Makassar memang
kusempatkan menginap dua malam hanya karena ingin bertemu beberapa kerabatku.
Mulai dari teman SD, SMP, SMA, ataupun sepupuku yang labil dimana kumulai
mengenalnya saat akan mengenakan seragam putih abu-abu. Namun sangat
disayangkan, sepertinya mereka banyak yang sibuk, juga beberapa dengan alasan
yang tak bisa kupungkiri. Mungkin di lain kesempatan kita bertemu dalam suasana
yang lebih menyenangakan Kawan. Pikirku.
Hari pertamaku di tanah kelahiran
terasa ada yang mengganjal. Ya, ini tentang diriku. Aku merasa tak banyak yang
berubah denganku. Kalaupun ada pribadiku yang berubah masih belum begitu
signifikan. Hampir setahun di bangku kuliah sepertinya aku belum jadi apa yang
kuimpikan. Sesak memang jika mimpi-mimpi masih sebatas tulisan sementara
rekanmu mulai bermain corat-coret mimpinya, tinta tebal bahkan.
Jujur saja perasaan menyesal dan
rasa bersalah terhadap diriku di masa lalu terkadang mengganggu semangatku
beraktivitas. Namun semua tentang itu tidak ada gunanya dipersoalkan. Aku
percaya ada pintu terang yang menanti untuk dibuka. Ya Allah hilangkanlah
segenap resah, gelisah, dan kebimbangan dalam hati hamba-Mu ini. Berikanlah
jalan terbaik-Mu.
Hari kedua. Aku dan beberapa
kawan SMA-ku berangkat menuju kawasan
pantai Bira untuk mengisi akhir pekan sekalian edisi sebelum bulan Ramadhan. Kami
bersafari hanya berempat, sebab masih banyak kawan lainnya yang belum pulang
dari kota Makassar terutama para gadis. Dengan dua buah sepeda motor kami
berangkat sekitar jam satu siang.
Pantai Bira mungkin terkesan
sudah mainstream, maka Pantai Bara
menjadi tujuan. Ini pertama kalinya aku ke pantai Bara. Lokasinya tak jauh dari
Bira. Keduanya masih satu garis pantai. Dua puluh menit menggunakan sepeda
motor melewati jalan beraspal kemudian setengah jalan akan menemui jalan dengan
kerikil agak tajam. Memarkir kendaraan dekat villa yang belum selesai dibangun,
sedikit berjalan kaki menurun, hamparan pasir putih dan birunya laut terlihat
sudah.
Pantai Bara memang masih terasa
alami. Tak seramai Bira, disini masih terbilang sunyi. Cakrawala senja mulai
tampak dari balik bukit. Perasaan hati mulai tenang seakan ikut menari dibawa
ombak saat surut. Kelembutan pasir pantai juga menambah ketenangan sore itu. Sejuk
serta damai. Yah, aku setuju bila hiruk pikuk kota masih menyisakan peluh,
menyepi ke pantai mungkin salah satu pilihan terbaik.
Tak banyak dialog yang kami
utarakan. Hanya senda gurau, basa-basi semata. Menyusuri pantai, mengambil
gambar sana dan sini. Hari ini mungkin sedikit ketenangan bersama sahabat
serasa memudarkan persasaan galau itu.
Segenap syukur kepada Sang
Pencipta masih bisa ke tempat ini.
Tempatku lahir,
Tempatku pulang,
Dan tempatku sandarkan kegelisahan
yang masih membebani.
Sahabat memang sosok yang mampu
menyelamatkan kita dari NERAKA yang bernama KESEPIAN. Bersama angin darat yang
mulai berhembus, semoga semilirnya membawa segenap penyesalan menjauh. Semoga!



No comments:
Post a Comment