Monday, 11 April 2016

Cangkir candu



Siang ini, langit Bojongsoang sedang hujan lebat. Itu hanya anggapanku saja, tapi bukan april mop, hehe. Aku malas menengok ke teras untuk membuktikan. Sebab dari kamar di lantai dua ini terdengar jelas geledek bersahut-sahutan di luar sana. Juga suara rintik hujan di atap merambah ke kamar ini. Tentu hujannya deras, menurutku. Sebab biasanya jika hujannya gerimis atau sedang saja, suaranya tidak akan terdengar sampai ke dalm ruangan kapal (pecah) ini. Masa ia tetangga sebelah sedang memutar soundtrack film bertema hujan dan petir? Kurang kerjaan. 

Kamar kosan saat ini tidak berbentuk kamar lagi, hanya dipakai untuk tidur. Selagi ada ruang untuk berbaring melepas penat maka itu sudah kamar menurutku. Biarlah yang lain berserakan asal ruang ngopi, menulis, baca, dan tidur masih tersedia. Pandangan yang miris bukan. Dan begitulah sampai hari ini.

Memang aura di tahun kedua membuatku sedikit bandel. Aturan banyak kulanggar, meski hanya ringan. Catatan kuliahku juga tak teratur lagi. “ Percuma datang-datang jauh-jauh dari Makassar, jauh-jauh dari Bulukumba kesini hanya untuk bermain robot saja”, ucap salah seorang teman,”sampai kuliah kau nomor tujuhkan sebab Pancasila masih menempati posisi satu sampai dengan lima”. Aku hanya tersenyum saat diserang kalimat itu.

Begitulah aku, saat ini sepertinya lebih memprioritaskan lab dari kegiatan UKM lainnya. Mungkin beberapa dari mereka ada yang beranggapan aku mulai melupakan, jarang untuk bergaul bersenda gurau dan nongkrong bersama, mulai sok sibuklah, sok pamerlah, atau apalah itu. 

Biar kuluruskan Kawan, aku sama sekali tak ada niat kesana, ini hanya masalah waktu dan pandangan saja. “Nobody is too busy, it’s just a matter of priorities,” bunyi tulisan bergambar di internet. Mungkin kita dapat saling mengerti. Tinggal kita yang bisa mengambil benang merah yang benar agar kesalahpahaman itu tak lagi merekah.

Aroma kopi instan tanpa ampas meminta perhatianku. Kuseruput saja kafein cair itu hingga seperempatnya. Ada kenikmatan tersendiri saat cangkir aluminium berisi cairan itu bertemu bibir. 

Sudah beberapa minggu ini aku tak pernah lepas dari minuman instan. Minuman bubuk yang kubeli di mini market dekat kosan. Saat bagun pagi  sarapan malas, maka hanya sereal yang kuteguk sebagai penunda lapar. Saat siang dan ngantuk datang kopi yang kuhantam, lalu malam saat masih ingin terjaga dengan tugas  kuliah dan tugas lab, tak jarang menggodaku untuk menambah satu gelas dosis unuk meminum candu itu.

Karena kopi adalah candu. Dan aku adalah salah satu penggemarnya. Pecandu minuman yang akan memicu konsentrasi dan penambah energy. Aku lupa sedari kapan memulai terjangkit olehnya. Sejak SMA kupikir. Sejak sering begadang di warkop  di akhir pekan atau sedang mempelajari sebuah lagu dengan gitar tua di kamar. Menurutku.

Aku ingat sekali saat masih di Mamuju sana. Beberapa kali Bapak ataupun Om ku meminta membuatkannya kopi tatkala Ibuku sedang tidak di rumah. Bukan kopi instan yang tinggal seduh, aduk dan nikmati. Tapi ini kopi yang dijual di pasar mingguan. Kopi original yang dibuat masih dengan cara konvensional . Yang kuingat dosisnya satu banding dua. Satu sendok makan kopi bubuk dan dua sendok makan gula pasir untuk gelas berukuran sedang. Aku merasa pembuat kopi yang handal ketika paman memujiku “Cal, kopi hitam buatanmu nomero uno.” Tentunya dalam bahsa Indonesia.” Kopi hitam buatanmu ini campuran pas, dan enak Nak!” ah entah itu pujian sesungguhnya atau selimut dari sebuah celaan sebab rasanya tak sesuai harapan. Aku anggap pujian saja.

Kopinya memang tak memiliki iklan. Mereknya pun beragam. Merk yang terkenal di tempatku ialah merk "BINTANG" seingatku. Saat ke pasar pun aku bisa menyaksikan secara langsung mesin penggilling kopi, dan aroma khasnya yang menyebar kemana-mana. Kalau diperlakukan seperti kopi instan yang kunikmati saat ini bisa terbayang pahitnya seperti apa. 

Kuseruput lagi Kopi di sampingku. Rupanya tersisa sedikit dan mulai dingin. Setelah kuhabiskan cangkir candu itu bersama biscuit yang tersisa bungkus. aku segera beranjak. Mungkin kita harus jalani hidup hidup sama seperti kopi. Kita tidak akan tahu dimana kenikmatannya saat tidak berani melalui beberapa rasa pahitnya.  Saat mulai terbiasa, menjadi pecandu dari rasa itu, Bukankah tidak akan terasa pahit jika tahu cara menikmatinya.

Dan cangkir candu tak harus berupa kopi. Cangkir candu bisa apa saja. Apa saja yang membuat anda senang menjalaninya. Wadah yang menjadi candu, membuat kita bangga dan nyaman lagi dan lagi. Entah itu hobby atau passion. Selagi kita ikhlas dan bersungguh-sungguh menjalani inshAllah hasilnya takkan jauh berpaling, seberapapun pahitnya itu.

No comments:

Post a Comment