Rabu siang, ujian akhir telah
selesai. kalkulus 2 menjadi penutup yang sempurna. Entah hasilnya sebaik ujian
sebelumnya atau malah sebaliknya, bukan itu yang ingin kupermasalahkan.
Masalahnya apakah dengan itu ilmunya kuterima dengan mantap, mengubah pola
pikirku menjadikan lebih dewasa atau hanya sekadar ujian saja. sudahlah, tak
patut diwacanakan.
Libur tiga bulan telah tiba. Anganku
melambung. Libur telah dimulai, apakah perjalanan mengesankan juga segera
dimulai? Mungkin belum terjawab. Rasa bingung dan ketakutan pun datang. Bingung
sebab tak tahu bagaimana, kemana kuhabiskan libur panjang kali ini dan takut
bila kemungkinan terburuknya jika aku hanya menyia-nyiakan kesempatan emas ini.
Mengisinya dengan kegiatan tak berguna dan tanpa pencapaian berarti. Aku hanya
ingin produktif, dan berharap dapat memkasimalkan potensiku sekarang, aku ingin
memiliki sesuatu yang dapat kubanggakan, tak lebih.
Waktu terkadang terasa begitu
cepat berlalu. Hanya tersisa satu hari sebelum esok, aku dan beberapa temanku asal
Makassar akan menuju Kota Kediri untuk belajar. Yah, belajar dan mengasah
kembali kemampuan berbahasa Inggris yang notabene sudah lebih sembilan tahun
diperlajari di bangku sekolah tapi ngomongnya belum lancar-lancar amat. Do you
agree with me?
Sabtu pagi aku dan teman sekamarku
Freddy berangkat menuju daerah Lembang. Daerah dataran tinggi yang cukup dingin
dan nyaman di Kota Bandung. Mau tak mau kami harus berangkat lebih awal dan berkejaran degan waktu sebab tiga hal.
Pertama, tak ada waktu lagi bersama, inilah hari terkahirku, kebersamaan kami
di kota Kembang. Kedua, mengejar sun rise
di Tebing Keraton agar sapat menyaksikan keindahannya saat merangkak dari balik
gunung. Terakhir, agar dapat cepat pulang ke asrama, ke stasiun tepat waktu dan
terhindar dari ketinggalan kereta.
Suhu udara dingin menemani kami menuju destinasi dengan sepeda
motor pinjaman. Baru saja setengah perjalanan menuju Tebing Keraton, di sebelah kanan sekitaran
jalan Ir. H. Djuanda mentari telah tampak. Rupanya sudah hampir pukul tujuh
pagi. Sangat disayangkan, kami telat.
Tidak masalah. Meski sudah cerah
saja,pemandangan alam dari Tebing Keraton tidak membuat kecewa. Terpampang
gunung Tangkuban Perahu dari dataran tinggi ini. Juga Taman Hutan Raya Juanda
yang menghijau di tutupi sedikit kabut dan embun menambah asrinya tempat ini. Jalan
terjal dengan suasana khas pegunungan menambah serunya weekend. Belum lagi para pesepeda dengan semangatnya yang seoalah
terbakar tetap mengayuh sampai ke puncak. Tak kenal usia ataupun merek sepeda,
mereka terlihat sangat antusias melewati jalan menanjak dan berbatu.
Selepas dari Tebing Keraton,
tujuan selanjutnya adalah Obsevatorium Boscha. Masih di daerah Lembang.
Obsevatorium ini adalah tempat untuk melihat gemintang, dan benda-benda langit
lainnya melalui teleskop besar di dalamnya.
Meski dua kali kesasar karena google maps yang bermasalah akhirnya
ketemu juga. Setibaku di Obsevatorium milik Himpunan Mahasiswa Astronomi
(HIMASTRON) ITB ini tampa tak begitu ramai. Karena jika mendaftar harus
menunggu giliran masuk sekitar sejam lagi, aku jadi tak tertarik. Kami hanya
berfoto-foto sebentar, membaca artikel teori konsiprasi tentang pendaratan
manusia pertama di bulan yang kebanyakan bertolak belakang degan nalar, sebelum
kemudian mencari kantor pengelola tempat ini untuk menanyakan beberapa hal.
Ternyata hanya malam hari sajalah
pengunjung dapat menyaksikan bintang-bintang ataupun benda-benda langit melalui
teleskop.
“ Datanglah kesini bulan Agustus
nanti Dek, kalau cuaca bagus, kamu dapat melihat Mars dan Jupiter ” ucap bapak
pengurus Obsevatorium seraya menyodorkan kami brosur kunjungan yang masih
menumpuk di meja. Meskipun masih tiga bulan lagi dan hanya ada dua hari tersedia di bulan
Agustus, aku merasa begitu tertarik.
Teman sekamarku pun menyahut tanda setuju.
“Terima kasih pak!” ucap kami kemudian
pamit meninggalkan Obsevatorium.
Arloji hitam di tangan kiriku
menunjuk pukul setengah sebelas siang. Aku pikir masih bisa satu tempat lagi
yang dapat dikunjungi sebelum balik ke asrama. Tak ada pilihan lain, Gunung Tangkuban
Perahu menjadi objek selanjutnya. Hampir setahun aku studi di sini namun ini
kali pertamaku ke Gunung yang menjadi ciri khas Kota Bandung.
Sepanjang jalan dihiasi dengan
pepohonan khas pegunungan, bus-bus pariwisata yang berlalu lalang, sisi kiri
dan kanan terlihat jelas bukit-bukit dan dataran tinggi Bandung menghijau. Yah, kalau di kampung
halaman mungkin aku terlalu dimanjakan dengan wisata bahari, pantai-pantai
mengagumkan, kali ini wisata pegunungan mungkin
tak kalah.
Siang itu Tangkuban lumayan
ramai. Setelah sepeda motor terparkir kami bergegas menuju spot-spot yang
menarik untuk mengambil gambar. Aroma
belerang dari kawah utama tercium jelas. Kami berjalan dari satu sudut ke sudut
lainnya hanya untuk mendapatkan frame
yang bagus untuk dipotret. Sepintas wisatawan asing terlihat bebaring di sebuah
kursi panjang, membuka bajunya membiarkan mentari menyengat dan orang-orang
yang lewat menyaksikan tubuhnya yang memerah. Dia terlihat santai dengan irama
musik modern dari dalam ranselnya.
Sepatu NB yang biasa kupakai kuliah kini solnya sudah mulai menipis.
Bagaimana tidak, tiap kali bekunjung ke daerah seperti ini, dengan trek berbatu
hanya sepatu ini yang kukenakan. Belum cukup uangku memebeli sepatu gunung.
Semoga masih bertahan sampai setahun lagi. Aamiin.
Karena terbawa suasana, akau tak
sadar sebentar lagi teman-temanku akan segera ke stasiun kereta.
“Bro, jam 2.30 siang kita
berngkat ke stasiun ya. Taksi sudah dipesan!” tulis Hidayat lewat pesan
singkatnya di BBM.
“Waah, tinggal sejam lagi.
Mungkinkah aku akan terlambat?” Batinku dan coba tuk tetap tenang.
Dengan terburu-terburu Aku dan
Freddy sesegera mungkin meninggalkan Gunung menuju Terusan Buah Batu yang
memakan waktu bahkan lebih dati satu jam perjalanan. Situasi begitu tanggung.
Tak mungkin lagi tiba di asrama sebelum
setengah tiga. Paling beruntung hanya setengah tiga lewat lima menit.
Pikirku yang diboceng sepeda motor. Macet di sepanjang jalan membuat pikiranku
semakin kacau dan suasana hati tak menentu. Aura negatif yang berdatangan
kucoba tepis semampuku. Arrggghh..!Panggilan telepon bertubi-tuni dari temanku
hanya kuabaikan. Pesan singkatnya pun tak kubalas, kalaupun ia hanya kutulis
alas-alasan tidak jujur.
Dengan terburu-terburu
kupersiapkan segala sesuatunya. Untung saja aku sempat mengemas tas carrier 40 liter yang akan kubawa. Tiga
orang temanku telah menuggu di taksi dekat jembatan depan kampus. Aku mencoba
tenang dan tidak tergesa-tergesa. Aku takut jika ada barang penting yang bakal
tak kuangkut. Juga bila saja teman yang menunggu sudah tak tahan dan lekas
meninggalkanku.
Pukul tiga kurang lima menit aku
telah berada di dalam mobil. Untung saja mereka masih setia kawan. Maafkan aku
kawan, yang membiarkan kalian menunggu dan meteran taksi berjalan. Aku duduk di
tengah dengan jaket gunung yang masih membalut tubuhku. Panas dan gerah tentu
saja semakin menyerang. Bulir keringat mengalir perlahan di pelipis dan
badanku. Sangat pengap di dalam sini. Belum lagi macet memperparah suasana.
Bersandar sejenak akupun tertidur sampai di stasiun. Mungkin aku terlalu lelah
seharian ini.
Setelah menuggu setengah jam.
Kereta yang di nanti-nanti tiba juga. Pukul lima sore dengan jarum panjang di
angka sebelas kereta berangkat. Terdengar lagu masa kecil di
kepalaku.”Tut.tut..tut, naik kereta api, siapa hendak turun ke Bandung
Surabaya, kemana? Dengan siapa? Yolanda…wowow wowow!” loh kok.
Pengalaman pertama memang
berkesan. Sebut saja pengalaman pertama kali dibelikan sepeda, pertama kali
bisa naik sepeda motor, pertama kali bertemu cinta pertama dan menyatakan
perasaan di belakang kelas, ah maksudku pertama kali naik kereta. Hehe. Banyak
cerita di gerbong kelas bisnis selama perjalan ke Kediri. Mulai diri bertemu
dengan sahabat dari Telkom lainnya, saling berbagi makanan sebab harga makanan kereta yang mahal, shalat sambil
duduk di kereta, temanku Iskandar yang di buat mati kutu oleh tiga orang wanita
dari desain produk ITB, hingga teman dudukku yang seeanaknya saja tidur di
sampingku. Untung saja wanita. Hehe.
Sungguh perjalanan darat yang
panjang dan melelahkan. Hamparan alam luas membentang di tanah jawa menjadi
bumbu perjalananku. Sawah, ladang, hutan, dan gunung memang asyik untuk
disaksikan dari lokomotif ini. Empat belas jam lebih berlalu tibalah kami di
stasiun Kediri tepat pukul lima pagi lewat seperempat. Petualangan akan dimulai
lagi di kota tahu ini. Dua minggu lebih kami akan menetap dan belajar, mengasah
ENGLISH skill, menambah relasi
pertemanan, dan pengalaman. Semoga berberkah selalu, aamiin.
Bersambung..!
| Sisi kiri jalan menuju Tebing Keraton |
![]() | |||||
| Menunggu kereta api segera tiba |

No comments:
Post a Comment