Siang ini, langit Bojongsoang
sedang hujan lebat. Itu hanya anggapanku saja, tapi bukan april mop, hehe. Aku
malas menengok ke teras untuk membuktikan. Sebab dari kamar di lantai dua ini
terdengar jelas geledek bersahut-sahutan di luar sana. Juga suara rintik hujan
di atap merambah ke kamar ini. Tentu hujannya deras, menurutku. Sebab biasanya
jika hujannya gerimis atau sedang saja, suaranya tidak akan terdengar sampai ke
dalm ruangan kapal (pecah) ini. Masa ia tetangga sebelah sedang memutar
soundtrack film bertema hujan dan petir? Kurang kerjaan.
Kamar kosan saat ini tidak
berbentuk kamar lagi, hanya dipakai untuk tidur. Selagi ada ruang untuk
berbaring melepas penat maka itu sudah kamar menurutku. Biarlah yang lain
berserakan asal ruang ngopi, menulis, baca, dan tidur masih tersedia. Pandangan
yang miris bukan. Dan begitulah sampai hari ini.
Memang aura di tahun kedua
membuatku sedikit bandel. Aturan banyak kulanggar, meski hanya ringan. Catatan
kuliahku juga tak teratur lagi. “ Percuma datang-datang jauh-jauh dari
Makassar, jauh-jauh dari Bulukumba kesini hanya untuk bermain robot saja”, ucap
salah seorang teman,”sampai kuliah kau nomor tujuhkan sebab Pancasila masih
menempati posisi satu sampai dengan lima”. Aku hanya tersenyum saat diserang
kalimat itu.
Begitulah aku, saat ini
sepertinya lebih memprioritaskan lab dari kegiatan UKM lainnya. Mungkin
beberapa dari mereka ada yang beranggapan aku mulai melupakan, jarang untuk
bergaul bersenda gurau dan nongkrong bersama, mulai sok sibuklah, sok pamerlah,
atau apalah itu.
Biar kuluruskan Kawan, aku sama
sekali tak ada niat kesana, ini hanya masalah waktu dan pandangan saja. “Nobody
is too busy, it’s just a matter of priorities,” bunyi tulisan bergambar di
internet. Mungkin kita dapat saling mengerti. Tinggal kita yang bisa mengambil
benang merah yang benar agar kesalahpahaman itu tak lagi merekah.
Aroma kopi instan tanpa ampas
meminta perhatianku. Kuseruput saja kafein cair itu hingga seperempatnya. Ada
kenikmatan tersendiri saat cangkir aluminium berisi cairan itu bertemu bibir.
Sudah beberapa minggu ini aku tak
pernah lepas dari minuman instan. Minuman bubuk yang kubeli di mini market
dekat kosan. Saat bagun pagi sarapan
malas, maka hanya sereal yang kuteguk sebagai penunda lapar. Saat siang dan ngantuk
datang kopi yang kuhantam, lalu malam saat masih ingin terjaga dengan
tugas kuliah dan tugas lab, tak jarang
menggodaku untuk menambah satu gelas dosis unuk meminum candu itu.
Karena kopi adalah candu. Dan aku
adalah salah satu penggemarnya. Pecandu minuman yang akan memicu konsentrasi
dan penambah energy. Aku lupa sedari kapan memulai terjangkit olehnya. Sejak
SMA kupikir. Sejak sering begadang di warkop
di akhir pekan atau sedang mempelajari sebuah lagu dengan gitar tua di
kamar. Menurutku.
Aku ingat sekali saat masih di
Mamuju sana. Beberapa kali Bapak ataupun Om ku meminta membuatkannya kopi
tatkala Ibuku sedang tidak di rumah. Bukan kopi instan yang tinggal seduh, aduk
dan nikmati. Tapi ini kopi yang dijual di pasar mingguan. Kopi original yang dibuat
masih dengan cara konvensional . Yang kuingat dosisnya satu banding dua. Satu
sendok makan kopi bubuk dan dua sendok makan gula pasir untuk gelas berukuran
sedang. Aku merasa pembuat kopi yang handal ketika paman memujiku “Cal, kopi hitam
buatanmu nomero uno.” Tentunya dalam bahsa Indonesia.” Kopi hitam buatanmu ini
campuran pas, dan enak Nak!” ah entah itu pujian sesungguhnya atau selimut dari
sebuah celaan sebab rasanya tak sesuai harapan. Aku anggap pujian saja.
Kopinya memang tak memiliki
iklan. Mereknya pun beragam. Merk yang terkenal di tempatku ialah merk "BINTANG"
seingatku. Saat ke pasar pun aku bisa menyaksikan secara langsung mesin
penggilling kopi, dan aroma khasnya yang menyebar kemana-mana. Kalau diperlakukan
seperti kopi instan yang kunikmati saat ini bisa terbayang pahitnya seperti
apa.
Kuseruput lagi Kopi di sampingku.
Rupanya tersisa sedikit dan mulai dingin. Setelah kuhabiskan cangkir candu itu
bersama biscuit yang tersisa bungkus. aku segera beranjak. Mungkin kita harus
jalani hidup hidup sama seperti kopi. Kita tidak akan tahu dimana kenikmatannya
saat tidak berani melalui beberapa rasa pahitnya. Saat mulai terbiasa, menjadi pecandu dari rasa
itu, Bukankah tidak akan terasa pahit jika tahu cara menikmatinya.
Dan cangkir candu tak harus
berupa kopi. Cangkir candu bisa apa saja. Apa saja yang membuat anda senang
menjalaninya. Wadah yang menjadi candu, membuat kita bangga dan nyaman lagi dan
lagi. Entah itu hobby atau passion. Selagi kita ikhlas dan bersungguh-sungguh
menjalani inshAllah hasilnya takkan jauh berpaling, seberapapun pahitnya itu.