Banyak sekali ragam ikhlas yang
dapat kita temukan dalam hidup. Berlapang dada, ikhlas yang menabahkan hati
atau pun yang menyesakkan. Orang bijak mengatakan ikhlas terkadang menyakitkan tapi
ada hal indah yang segera menyusul.
Lalu pertanyaannya sanggupkah
kita berprilaku ikhlas dengan seikhlas-ikhlasnya?
Sebut saja dalam mengerjakan ujian. Mungkin sekali lagi di
momen yang sama aku lalai dalam kata dan laku. Banyak kata tak pantas
kukeluarkan yang mungkin dapat menyinggung mahaguru jika mendengarnya. Atau
Prilaku yang sebanarnya salah dan sama.
Memang setiap waktu pasti
berusaha mengikuti perkataan orang bijak tuk ikhlas dalam bertindak.
Mengerjakan ujian kemudian ikhlas pada hasil, belajar dengan ikhlas semata-mata
karena ingin mendapatkan ridho-Nya. Kemudian apakah kita sudah sampai di
titik itu atau hanya karena duniawi. Hanya semata-mata.
Yah begitulah. Kalau tidak
antisipasi toh kesalahan yang sama dapat menyerang kapan saja. Di ujian
yang baru selesai hari ini. Karena terlalu santai, tak mengikuti tips yang aku
tulis dan garis bawahi sendiri pada note di kamar, malah membuat tuk ikhlas lebih
dalam. Yah berusaha ikhlas mungkin yang terbaik. Aku tidak mendewakan IPK namun
IPK yang buruk tidak kuharapkan. Yang kuyakini pasti “Jangan pernah
menilai seseorang dari pencapaian akademiknya saja” begitulah salah satu
kutipan karakter Onizuka di film Great Teacher Onizuka.
Singgung tentang ujian. Ujian Tengah Semester baru saja
berakhir. Menyisakan lima hari jeda buatku sebelum kembali ke rutinitas.
Bangun pagi, tanpa sarapan, dan mandi jika sempat. Di sini orang menyebutnya
dengan kuliah. Saat ujian telah kepikiran apa saja yang akan kulakukan di sekitar 120 jam waktu kosong tersebut.
Tentunya dengan sesuatu yang produktif. Menyelesaikan proyek UAV di lab, mulai
menulis lagi, cari event yang bermanfaat, menyelesaikan desain, refreshing,
mungkin banyak lagi yang tak dapat kusebut satu persatu. Namun lagi-lagi
pencapaian delapan puluh persen saja tak sampai.
Suasana kampus sedang
hangat-hangatnya kasus penggusuran pedagang kaki lima di sepanjang jalan
sukabirus (dekat kampus). Toko kelontong, foto copy, dan warung warung makan
yang mendominasi dan telah menjadi langganan mahasiswa akan di bongkar. Akan
lenyap dan bagi mahasiswa tentunya akan kekurangan tempat makan murah. Sebab warung-warung tersebut cukup pas di kantong mahasiswa.
Aku tak tahu sebab pastinya
penggusuran tersebut. Berita yang kudengar katanya banyak bangunan yang
illegal, mereka mendiriknnya tanpa surat izin hanya membayar ke
preman-preman daerah sini. Entahalah. Suara mahasiswa pun tak turut diam.
Gerakan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) setahuku telah ikut membela masyarakat
mendiskusikan jalan terbaik dengan pihak kampus. Dengan kenyataan yang ada di
lapangan mungkin bisa diteabk hasilnya tak berajalan mulus. Mungkin.
Pro dan kontra memang. Disatu
sisi kita melihat lingkungan kampus tidak terkesan kumuh lagi dengan di
bongkarnya banyak warung-warung pinggiran yang jarang di urus, lingkungan
sekitar kampus mulai tertata kembali dan macet mungkin berkurang. Tapi di sisi
lain, pihak dari pedagang yang usahanya tergusur tentu akan rugi, apalagi yang
baru berumur beberapa minggu. Beberapa tempat-tempat makan andalan mereka akan
hilang sampai waktu yang tidak ditentukan.
Kata teman “ pastinya
warung-warung lain yang tak tergusur akan tertawa diam sebab kehilangan banyak
pesaing”. Ya bisa saja benar. Tapi bisa saja beberapa bulan ke depan mereka
akan muncul kembali dengan sesuatu yang berbeda dan membuat pesaingnya tan
bertahan tenggelam. Bisa saja.
Rumor yang beredar juga menghimbu
kami para mahsiswa untuk menjaga diri dengan baik. Terutama yang nge-kost dekat
gang dan sering pulang malam. Di takutkan beberapa pihak yang dirugikan akan
melalukan tindak criminal sebab penggusuran tersebut. Yah, sepertinya kami
harus berpikir jernih.
Aku yang kerap pulang ke kosan larut malam pun
menyadari hal itu. Memang benar, suasana malam tak lagi seramai biasanya.
Dikarenakan toko-toko yang buka dua puluh empat jam tinggal sedikit. Wajar
kalau banyak yang berpikiran dan merasa was-was dengan kemungkinan terburuk
tersebut.
Namun bagaimana pun, sudah
seyogyanya mereka yang dirugikan untuk ikhlas dengan penggusuran tersebut. Aku
bukannya sok tahu, atau sok sok lainnnya. Namun kita sama – sama menyadari
scenario-Nya tak dapat diprediksi, dan biasanya jauh lebuh indah dari yang
direncanakan. Sama seperti UTS baru-baru ini, aku tahu banyak keragaun dalam
lembar jawabanku tapi aku ikhlaskan itu kepada yang maha Tahu. Kalaupun
hasilnya tak sesuai harapan, toh setidaknya itu perjuanganku dengan rasa
ikhlas. Tak mudah tapi sangat mungkin belajar ikhlas menerima. Let’s do it.
Bandung, 12 Maret 2016