Minggu sore, tak jauh dari
kawasan kampus. Di sebuah kamar kostan tanpa jendela. Hanya ada ventilasi kecil
dan kaca buram yang tertembus cahaya matahari
dari luar. Dengan seisi ruangan yang berantakan dua minggu tak dibereskan, aku
beristirahat menanti senja berganti gelap. Lantunan musik klasik tetangga kamar
jadi teman kali ini.
Semester tiga tahun kedua memang
lebih menantang menurut beberapa orang. Maklumlah anak teknik. Bisa dikatakan
semua pelajarannya tentang hitung-hitungan. Hitungan yang abstrak, tak ada yang
tanpa rumus. Lantas bagaimana? Yah mau tak mau, harus berusaha mencintai
mereka. Sebab kata iklan “I don’t choose engineering life, but engineering
life choosen me”.
Dan besok awal UTS segera
dimulai. Tapi persiapanku belum begitu maksimal. Mental dan otak belum siap
tempur. Amunisi belum terisi, bekal belum matang. Belajarnya sebentar saja. Ya
Rabb, semoga ujianku baik-baik saja. Batinku.
Di tengah sibuk mempersiapkan
alat dan bahan ujian, terlintas lagi rasa itu. Bukan rasa rindu akan anak orang
seperti sedang kasmaran. Bukan.
Seperti kicauku pernah di akun
twitter, “sesak memang jika mimpi masih
sebatas mimpi sementara rekanmu telah asyik bermain corat-coret mimpinya, tinta
tebal bahkan”. Mungkin itu salah satu kalimat yang mewakili perasaan saat
ini.
Iri dan dengki terkandang mencul
secara alami. Tak mudah hilang begitu saja, semua berpangkal dari kita kembali.
Apakah kita segera meluluhkannya agar tidak menjamur atau malah memupuknya
hingga berkembang menjadi benalu di dalam hati. Aku sendiri selalu berusaha
mengikis setiap iri dengki itu semampuku, meskipun toh hasilnya tak selalu
mulus. sebab dengki itu adalah racun tak terlihat. Seperti tutur ‘Ali Zainal
‘Abidin Ibn Husain dalam buku Dalam
Dekapan Ukhuwah karangan Salim A.
FIllah :
Dia masih kecil ketika harus
menyaksikan ayah dan seluruh anggota keluarganya yang suci dibantai di Padang
Karbala. Dia tumbuh sebagai yatim piatu dengan warisan luka yang amat dalam
menyayat hati. Tak putus-putus derita dan penistaan yang dilakukan orang
kepadanya.
“Tidakkah kau hidup dengan
dendam,” Tanya seseorang, “ Atau setidaknya dengki dengan Bani ‘Umayyah?”
“Aku selalu tanamkan pada diri
ini,” ujar ‘Ali Zainal “Abidin sambil tersenyum, “Bahwa berdengki itu artinya
kau menuang racun ke dalam mulutmu sendiri hingga tertenggak sampai usus, lalu
berharap bahwa musuh-musuhmulah yang mati karenanya. Apakah yang demikian itu
adalah tindakan orang yang berakal?”
‘Ali Zainal ‘Abidin adalah cahaya
yang menenggelamkan semua gelap dendam. Dia mengambil jalan tinggi, megatasi
semua rasa sakit dan luka lama. Dia menyembuhkan semua lara itu.
Sebab dia memahami bahwa yang
benar-benar berarti bukanlah apa yang terjadi pada dirinya, melainkan apa yang terdapat dalam dirinya. Dia melihat kebutuhan jiwanya akan kebaikan, dan
oleh sebab itu, dia menyalurkan kebaikan tersebut kepada orang lain. Dia
menginsyafi bahwa dirinya bukanlah korban. Dengan sadar dia memang memilih
untuk menjadi mulia dengan melayai orang lain. Dia menetapkan standar lebih tinggi
untuk dirinya sendiri disbanding apa yang akan dilekatkan orang lain pada
dirinya.
Sudah sepanatasnyalah kita sebagai insan yang sadar akan hal itu
tak memelihara dengki yang muncul di
sela-sela waktu. Di lingkungan keluarga, pertemanan, kampus ataupun di
masyarakat. Membalas dengan berbuat baik InshaAllah akan jauh lebih indah. Tak
instan memang tapi sangat manis.
Dan aku hanya tak ingin bila rasa
iri tehadap sesama semakin menjadi dengki. Tak ingin menyapanya kala rasa itu
terlintas lagi. Sungguh buruk jika ujianku, belajarku terbayang aura negatif
dari dengki terhadap sesama. Mari berbenah, mari mebunuh dengki!
Semoga segalanya baik-baik saja.
Aamiin.
Kostan, Oktober 2015.
No comments:
Post a Comment