Tuesday, 20 October 2015

Membunuh Dengki

Minggu sore, tak jauh dari kawasan kampus. Di sebuah kamar kostan tanpa jendela. Hanya ada ventilasi kecil dan kaca  buram yang tertembus cahaya matahari dari luar. Dengan seisi ruangan yang berantakan dua minggu tak dibereskan, aku beristirahat menanti senja berganti gelap. Lantunan musik klasik tetangga kamar jadi teman kali ini.

Semester tiga tahun kedua memang lebih menantang menurut beberapa orang. Maklumlah anak teknik. Bisa dikatakan semua pelajarannya tentang hitung-hitungan. Hitungan yang abstrak, tak ada yang tanpa rumus. Lantas bagaimana? Yah mau tak mau, harus berusaha mencintai mereka. Sebab kata iklan “I don’t choose engineering life, but engineering life  choosen me”.

Dan besok awal UTS segera dimulai. Tapi persiapanku belum begitu maksimal. Mental dan otak belum siap tempur. Amunisi belum terisi, bekal belum matang. Belajarnya sebentar saja. Ya Rabb, semoga ujianku baik-baik saja. Batinku.

Di tengah sibuk mempersiapkan alat dan bahan ujian, terlintas lagi rasa itu. Bukan rasa rindu akan anak orang seperti sedang kasmaran. Bukan.

Seperti kicauku pernah di akun twitter, “sesak memang jika mimpi masih sebatas mimpi sementara rekanmu telah asyik bermain corat-coret mimpinya, tinta tebal bahkan”. Mungkin itu salah satu kalimat yang mewakili perasaan saat ini.

Iri dan dengki terkandang mencul secara alami. Tak mudah hilang begitu saja, semua berpangkal dari kita kembali. Apakah kita segera meluluhkannya agar tidak menjamur atau malah memupuknya hingga berkembang menjadi benalu di dalam hati. Aku sendiri selalu berusaha mengikis setiap iri dengki itu semampuku, meskipun toh hasilnya tak selalu mulus. sebab dengki itu adalah racun tak terlihat. Seperti tutur ‘Ali Zainal ‘Abidin Ibn Husain dalam buku Dalam Dekapan Ukhuwah  karangan Salim A. FIllah :

Dia masih kecil ketika harus menyaksikan ayah dan seluruh anggota keluarganya yang suci dibantai di Padang Karbala. Dia tumbuh sebagai yatim piatu dengan warisan luka yang amat dalam menyayat hati. Tak putus-putus derita dan penistaan yang dilakukan orang kepadanya.

“Tidakkah kau hidup dengan dendam,” Tanya seseorang, “ Atau setidaknya dengki dengan Bani ‘Umayyah?”

“Aku selalu tanamkan pada diri ini,” ujar ‘Ali Zainal “Abidin sambil tersenyum, “Bahwa berdengki itu artinya kau menuang racun ke dalam mulutmu sendiri hingga tertenggak sampai usus, lalu berharap bahwa musuh-musuhmulah yang mati karenanya. Apakah yang demikian itu adalah tindakan orang yang berakal?”

‘Ali Zainal ‘Abidin adalah cahaya yang menenggelamkan semua gelap dendam. Dia mengambil jalan tinggi, megatasi semua rasa sakit dan luka lama. Dia menyembuhkan semua lara itu.

Sebab dia memahami bahwa yang benar-benar berarti bukanlah apa yang terjadi pada dirinya, melainkan apa yang terdapat dalam dirinya. Dia melihat kebutuhan jiwanya akan kebaikan, dan oleh sebab itu, dia menyalurkan kebaikan tersebut kepada orang lain. Dia menginsyafi bahwa dirinya bukanlah korban. Dengan sadar dia memang memilih untuk menjadi mulia dengan melayai orang lain. Dia menetapkan standar lebih tinggi untuk dirinya sendiri disbanding apa yang akan dilekatkan orang lain pada dirinya.

Sudah sepanatasnyalah  kita sebagai insan yang sadar akan hal itu tak  memelihara dengki yang muncul di sela-sela waktu. Di lingkungan keluarga, pertemanan, kampus ataupun di masyarakat. Membalas dengan berbuat baik InshaAllah akan jauh lebih indah. Tak instan memang tapi sangat manis.

Dan aku hanya tak ingin bila rasa iri tehadap sesama semakin menjadi dengki. Tak ingin menyapanya kala rasa itu terlintas lagi. Sungguh buruk jika ujianku, belajarku terbayang aura negatif dari dengki terhadap sesama. Mari berbenah, mari mebunuh dengki!

Semoga segalanya baik-baik saja. Aamiin.



Kostan, Oktober 2015.

No comments:

Post a Comment